Rabu, 01 Februari 2017

Siapakah Pribumi Asli Indonesia?


Tahukah kalian? Ada banyak warisan zaman kolonial yang masih bisa ditemukan di sekitar kita. Warisan yang kelihatan misalnya bangunan di kota-kota tua, dalam bentuk tradisi hukum, dan bahkan di warung Tegal sebelah rumah kita. Bagaimanapun, ada satu lagi warisan yang tidak kelihatan wujudnya, tapi masih menempel pada mental orang Indonesia sampai sekarang, yaitu konsep PRIBUMI. Memangnya, apa dan siapa PRIBUMI itu sebenarnya?
Menurut KBBI, Pribumi berarti penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Umumnya, yang kita sebut Pribumi atau orang asli Indonesia adalah orang suku Jawa, Minangkabau, Bali, Dayak, Papua, dan suku-suku lain yang baju adatnya sering kita lihat setiap Karnaval 17 Agustus. Sementara itu, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa, Arab, atau India masih sering kita perlakukan seperti orang asing. Singkatnya, mereka kita anggap sebagai bangsa pendatang. Padahal mereka bukan cuma lahir dan besar di negara kita, tapi juga berbudaya dan berbahasa Indonesia. Akhirnya, lahirlah istilah-istilah seperti “DISKRIMINASI” dan “KECEMBURUAN SOSIAL” yang banyak kita temukan terutama saat dunia perpolitikan sedang panas, seperti pada pemilu gubernur yang terjadi di… ehm… Ibukota Jakarta.
Kita yang sekarang ngaku-ngaku sebagai orang Indonesia asli sering tidak sadar, bahwa seluruh suku dari Sabang sampai Merauke sebetulnya dulu termasuk bangsa pendatang. Menurut bukti prasejarah yang ada, penghuni bumi Nusantara yang paling awal adalah Homo erectus. Spesies ini diperkirakan sudah ada sejak 1 sampai 2 juta tahun lalu dan banyak variasinya, sampai-sampai 50% total temuan fosil Homo erectus dunia asalnya dari Indonesia.
Spesies manusia modern baru masuk ke Nusantara secara bertahap pada Era Pleistosen. Nah, para manusia pendatang ini terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu Melanesia dan Austronesia. Diperkirakan, orang Melanesia sudah datang sejak 50 ribu tahun lalu, baru disusul orang Austronesia sekitar 4000 tahun lalu. Merekalah yang berkembang menjadi suku-suku yang kita kenal sekarang…
Kemudian, orang-orang di Nusantara awalnya menjalin hubungan dengan India lewat perdagangan logam dan rempah. Pengaruh yang kita dapat dari India saat itu adalah kebudayaan Lembah Sungai Indus, yang akhirnya berkembang menjadi kebudayaan Hindu-Buddha… maklum, film Bolywood favorit kita baru muncul sejak abad ke-20. Setelah itu, barulah kita menjalin hubungan dengan dinasti Tiongkok yang ada di wilayah Selatan, seperti saat rombongan Laksamana Cheng Ho datang ke wilayah Nusantara. Bangsa Arab secara bertahap juga datang pada masa-masa ini, terutama lewat perdagangan. Hubungan antarbudaya ini tentu menghasilkan banyak perkawinan silang. Bisa jadi, satu dari orang-orang asing ini termasuk leluhur puluhan generasi di atas kita.
Awalnya, orang Nusantara dan orang pendatang hidup berdampingan dengan damai. Namun, pemerintah Eropa zaman kolonial mulai menggolongkan orang berdasarkan asal-usul etnisnya. Singkat cerita, orang-orang Eropa menempati golongan paling atas dan paling enak, disusul orang-orang “Timur” termasuk orang Tionghoa, Arab, dan India. Sementara orang-orang yang disebut “Pribumi” ditempatkan di posisi paling bawah. Orang-orang Indo alias keturunan campuran pun ikut menderita karena tidak jelas masuk golongan mana.
Nah, menjelang kemerdekaan, tokoh nasional seperti Cipto Mangunkusumo, Amir Syarifuddin, dan Sukarno mengusulkan agar orang Tionghoa dan orang Indo lainnya ikut diperhitungkan sebagai orang Indonesia. Asalkan, mereka sudah menetap, berbudaya, dan berbahasa Indonesia. Sayangnya, konsep ini cuma bertahan sampai tahun 65. Karena di Era Orde Baru, lagi-lagi ada penggolongan antara pribumi versus non-pribumi. Dampaknya, orang-orang keturunan asing harus beradaptasi dengan budaya Indonesia secara ekstrem, misalnya sampai harus ganti nama.
Setelah 32 tahun, rezim Orde Baru akhirnya berakhir. Konsep penggolongan pribumi versus non-pribumi pun sudah dihapuskan oleh Gus Dur. Jadi, sekarang sudah bukan zamannya lagi ribut soal asal-usul dan perbedaan lainnya. Jangan sampai kita ngaku anak kekinian, tapi masih bermental kekunoan ya! Dan seperti biasa, terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar