Apa yang sebenarnya dimaksud dengan revolusi industri 4.0?
Konsep revolusi industri 4.0 ini merupakan konsep yang
pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Beliau merupakan ekonom
terkenal asal Jerman sekaligus penggagas World Economic Forum (WEF) yang
melalui bukunya, The Fourth Industrial Revolution, menyatakan bahwa revolusi
industri 4.0 secara fundamental dapat mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berhubungan
satu dengan yang lain.
Berikut ini empat tahap evolusi industri dari dahulu hingga
kini.
Sejarah Revolusi Industri
Revolusi industri yang pertama terjadi pada akhir abad
ke-18. Hal ini ditandai dengan ditemukannya alat tenun mekanis pertama pada
tahun 1784. Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi mekanis
yang menggunakan tenaga air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya bergantung
pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut.
Akibatnya, meski jumlah produksi meningkat, banyak orang yang
Revolusi industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20.Kala itu
ada pengenalan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Produksi massal ini
dimungkinkan dengan adanya listrik dan jalur perakitan. Lini produksi pertama
melibatkan rumah potong hewan di Cincinnati, Amerika Serikat, pada 1870.
Awal tahun 1970 ditengarai sebagai perdana kemunculan
revolusi industri 3.0 yang dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi
informasi guna otomatisasi produksi. Debut revolusi industri generasi ketiga
ditandai dengan kemunculan pengontrol logika terprogram pertama (PLC), yakni
modem 084–969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri
tidak lagi dikendalikan manusia. Biaya produksi dapat ditekan oleh karena
penerapan hal ini.
- Nah, awal 2018 hingga sekaranglah zaman revolusi industri
4.0. Industri 4.0 adalah industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi
dengan teknologi cyber. Ini merupakan tren otomatisasi dan pertukaran data
dalam teknologi manufaktur. Pada era ini, industri mulai menyentuh dunia virtual,
berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada di mana-mana.
Istilah ini dikenal dengan nama Internet of Things (IoT).
Setelah membahas mengenai apa itu revolusi industri 4.0
beserta sejarahnya, berikut ini akan saya bahas mengenai hasil analisis SWOT
yang saya lakukan terhadap revolusi industri 4.0 di Indonesia.
Strengths
Pemerintah Indonesia sudah mulai berbenah menanggapi adanya
perubahan industri dengan meluncurkan roadmap ‘Making Indonesia 4.0’ sebagai
strategi untuk memuluskan langkah Indonesia menjadi salah satu kekuatan baru di
Asia pada April 2018 lalu. Roadmap ini memberikan arah yang jelas bagi
pergerakan industri nasional di masa depan, termasuk fokus pada pengembangan
sektor prioritas yang akan menjadi kekuatan Indonesia menuju Industri 4.0.
Pemerintah memilih sektor makanan dan minuman, tekstil,
otomotif, kimia, serta elektronik sebagai fokus dalam program revolusi Industri
4.0. Pemilihan kelima sektor tersebut bukan tanpa alasan, selain pelaksanaannya
yang lebih mudah karena sudah lebih siap, sektor tersebut juga dapat memberikan
dampak yang besar bagi pertumbuhan industri dan ekonomi Indonesia.
Weaknesses
Kendati memiliki sumber daya manusia (SDM) yang banyak dan
sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia
yang rendah. Karena kualitas rendah, maka produktivitas tenaga kerja Indonesia
juga rendah.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia berada pada urutan
keempat di tingkat ASEAN dan urutan ke-11 dari 20 anggota negara anggota ASEAN
Productivity Organisation (APO). Sedangkan, untuk daya saing, saat ini
Indonesia berada pada urutan ke-36 dari 137 negara di tingkat ASEAN dan urutan
ke-9 dari negara-negara yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report
2017–2018.
Opportunities
Dengan implementasi industri 4.0, target besar nasional
dapat tercapai. Target itu antara lain membawa Indonesia menjadi 10 besar
ekonomi dunia pada tahun 2030, mengembalikan angka ekspor netto industri
sebesar 10 persen, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja industri hingga
dua kali lipat dibandingkan peningkatan biaya tenaga kerja industri dengan
mengadopsi teknologi dan inovasi yang mampu menciptakan kurang lebih 10 juta
lapangan kerja baru di tahun 2030.
Threats
Revolusi industri 4.0 tidak datang tanpa membawa masalah
baru. Salah satu masalah yang mungkin ditimbulkan oleh revolusi ini yakni
terciptanya pengangguran yang dipengaruhi oleh melebarnya ketimpangan ekonomi.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Begini, digitalisasi
dapat menggeser peran konvensional di dalam pasar. Sopir transportasi
konvensional seperti sopir ojek pangkalan, angkot, dan taksi berpeluang masuk
jurang pengangguran akibat kemunculan transportasi daring yang dinilai jauh
lebih murah dan nyaman di mata masyarakat saat ini. Tidak hanya itu, pedagang
di kios-kios tradisional dapat merugi dan akhirnya bangkrut akibat gelombang
e-commerce melalui kemunculan berbagai toko daring yang menyediakan barang yang
lebih bervariasi, murah, dan mudah diakses.
Tidak hanya digitalisasi, ke depan, penggunaan robot dalam
mendukung otonomisasi di ranah industri manufaktur dan jasa akan semakin tidak
terelakkan. Hal ini didorong keinginan perusahaan untuk memangkas biaya yang
ditimbulkan sumber daya manusia. Tuntutan kenaikan upah yang tidak diiringi
dengan produktivitas menjadi salah satu permasalahan yang sering dialami oleh
perusahaan terkait dengan sumber daya manusia.
Perkembangan teknologi yang pesat cepat atau lambat akan
berpengaruh pada permintaan tenaga kerja di masa depan. Ke depan, permintaan
tenaga kerja bergeser. Industri akan cenderung memilih tenaga kerja terampil
menengah dan tinggi (middle and highly-skilled labor) ketimbang tenaga kerja
kurang terampil (less-skilled labor) karena perannya dalam mengerjakan
pekerjaan repetisi dapat digantikan dengan otonomisasi robot.
Apa yang harus Indonesia lakukan?
Ada 2 hal yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah
Indonesia dalam mempersiapkan diri terhadap revolusi industri 4.0, yakni
pentingnya usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki serta
pentingnya diadakan perubahan terhadap Undang Undang Nomor 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam
rangka meningkatkan kemampuan tenaga kerja Indonesia yaitu mengadakan
spesialisasi melalui kursus dan pelatihan vokasi yang menjadi suatu keharusan
yang dimiliki calon pekerja untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan di masa depan.
Lalu, sedikitnya ada 3 hal yang perlu diatur dalam revisi UU
13 Tahun 2003. Pertama, hubungan industrial, yakni bagaimana hubungan antara
pemberi kerja dengan penerima kerja (pekerja) bukan lagi hubungan permanen dan
statis, tetapi bersifat pertemanan atau partnership. Dalam hubungan seperti
ini, pekerja bisa saja bekerja untuk sejumlah perusahaan yang berbeda. Jadi,
dalam hubungan kerja seperti ini, tempat kerjanya tidak mesti monoton di suatu
gedung serta waktunya fleksibel.
Kedua, employ cost atau gaji pekerja. Perhitungan
pembayarannya bisa saja per jam, per hari, per minggu atau per bulan,
tergantung dari kesepakatan atau perjanjian dan sesuai tingkat keahlian. Dalam
konteks hubungan kerja dan sistem penggajian seperti ini tentu kalau terjadi
pemutusan hubungan kerja tidak dikenal yang namanya uang pesangon.
Ketiga, peradilan hubungan industrial. Dalam undang-undang
yang baru nanti harus diatur perkara seperti apa yang masuk dalam ranah
peradilan hubungan industrial.
Apa yang akan terjadi jika kedua hal tersebut tidak
dilakukan?
Industri 4.0 mungkin membawa petaka bagi Indonesia jika
kunci kesuksesannya, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia, diabaikan.
Meskipun tingkat pengangguran pada 2016 tercatat lebih rendah sejak 1998, namun
otonomisasi masih menjadi ancaman serius bagi tenaga kerja kurang terampil yang
perannya akan mulai tergeser perlahan.
Kemudian, jika hal kedua, yakni revisi terhadap Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, juga diacuhkan, sehingga
tidak dapat mengakomodasi industri 4.0. Alhasil, implementasi industri 4.0
tidak akan berjalan maksimal.