Sejak tahun 1600, sekitar 278.880 orang tewas akibat aktivitas vulkanik. Banyak kematian disebabkan bahaya sekunder terkait letusan utama. Misalnya, kelaparan menewaskan 92.000 orang setelah letusan Gunung Tambora di Sumbawa pada 1815, dan tsunami vulkanik menewaskan 36.000 orang setelah letusan Krakatau di Selat Sunda pada 1883. Sejak 1980-an, kematian terkait letusan gunung berapi menurun namun ini tidak sepenuhnya hasil kesiapan atau manajemen bahaya.
Penelitian menunjukkan, aktivitas vulkanik tidak menunjukkan penurunan pada abad ke-21 cuma belakangan ini belum pernah ada di sekitar pusat populasi manusia. Sementara, masih ada sejumlah gunung berapi yang siap meletus dan jadi ancaman utama bagi kehidupan. Matthew Blackett, dosen senior geografi fisik dan bencana alam di Coventry University, menulis untuk The Conversation edisi 22 April 2017, mengulas lima letusan terdahsyat berikut ini;
Vesuvius
Dikenal karena letusan tahun 79 yang menghancurkan kota Pompeii dan Herculaneum di jantung benua Eropa, Gunung Vesuvius masih jadi ancaman signifikan mengingat karena membayangi kota Napoli dan sekitarnya serta lebih dari 3 juta orang. Gunung Vesuvius juga dikenal dengan letusan yang sangat intens. Plinian, yang pertama kali mendeskripsikan letusan itu, mengungkap ada kolom-kolom gas dan abu yang luas hingga ke stratosfer atau jauh lebih tinggi daripada kemampuan pesawat terbang komersial.
Bila letusan Vesuvius terjadi hari ini, kemungkinan besar penduduk telah dievakuasi karena sejumlah gempa terjadi menjelang letusan. Tapi, orang akan berpotensi mandi hujan batu apung yang terlalu berat untuk ditahan di ketinggian oleh kolom-kolom gas. Kemudian, saat gunung mulai kehabisan energi, kolom-kolom itu sendiri akan runtuh menyebabkan partikel batu lebih kecil (dari abu halus sampai batu-batu kecil) berjatuhan dari langit dan kembali ke Bumi pada kecepatan tinggi. Awan gas panas dan batuan piroklastik lumat kemudian akan mengalir menuruni lereng gunung, menghancurkan apa pun yang dilewati. Campuran gas-abu bisa terbang puluhan kilometer dengan kecepatan mengerikan, berpotensi mengubah Napoli menjadi Pompeii.
Nyiragongo
Gunung berapi di Republik Demokratik Kongo di tengah benua Afrika ini meletus beberapa kali dalam beberapa dekade terakhir. Meski letusannya tidak terlalu eksplosif, gunung ini menghasilkan lava sangat encer dan berbahaya. Begitu dilepas, lava panas ini dengan cepat bergerak menuruni sisi gunung dan menggenangi daerah yang dilewati dengan sedikit atau tanpa peringatan.
Pada 2002, danau lava di puncak gunung pecah mengakibatkan alirannya meluncur ke kota Goma dengan kecepatan 60 km/jam, menelan beberapa bagian hingga kedalaman dua meter. Untungnya, peringatan telah dikeluarkan saat gunung mulai resah. Lebih dari 300.000 orang berhasil dievakuasi pada waktunya. Jika peristiwa semacam itu terjadi lagi, pihak berwenang setempat harus siap. Masalahnya, Kongo termasuk kawasan yang rawan pergolakan politik sehingga kurang memperhatikan gejala alam dan keselamatan penduduk.
Popocatepetl
‘Popo’, begitu penduduk Meksiko menyebut gunung ini, letaknya hanya 70 kilometer barat daya kota besar Mexico City yang menampung 20 juta manusia. Popo secara teratur aktif. Aktivitas terakhirnya pada 2016 mengirimkan segumpal abu ke ketinggian lima kilometer. Belakangan ini, dan sepanjang sejarahnya, letusan Popo terdiri dari serpihan abu lembut yang terisolasi. Tapi serpihan abu ini melapisi gunung dengan selimut tebal. Selimut abu ini bila bercampur air bisa menghasilkan lumpur padat yang berpotensi mengalir sejauh beberapa kilometer dengan kecepatan relatif tinggi. Fenomena lahar seperti itu bisa sangat mematikan.
Kasus seperti itu pernah terjadi dengan letusan Nevado del Ruiz pada 1985. Sekitar 26.000 orang terbunuh di kota Armero, Kolombia, akibat lahar dari sumber vulkanik yang berjarak hanya 60 kilometer. Tragedi Nevado del Ruiz akibat langsung dari aktivitas vulkanik yang mencairkan es di puncak gunung. Sementara, sejumlah besar curah hujan atau salju dapat menghasilkan lahar serupa di Popo. Lahar ini bisa mengalir menuruni lereng menuju permukiman terdekat dengan sedikit atau tanpa peringatan.
Krakatau
Lain halnya dengan Krakatau. Sekitar 36.000 orang tewas dalam tsunami yang dipicu letusan Krakatau pada 1886, yang melepaskan lebih banyak energi daripada 13.000 bom atom di Hiroshima. Letusan tersebut menghancurkan Kepulauan Krakatau sepenuhnya. Namun, dalam waktu 50 tahun, satu pulau baru muncul menggantikannya. Pulau baru ini bernama Anak Krakatau.
Sejak 1920an, Anak Krakatau tumbuh dalam beberapa fase episodik dan saat ini mencapai ketinggian sekitar 300 meter. Ada aktivitas baru gunung berapi pada 2007. Episode aktivitas lebih jauh terus dicatat, dan paling akhir pada Maret 2017. Tak ada yang tahu pasti apakah pertumbuhan Anak Krakatau yang spektakuler itu berarti suatu hari nanti akan mengulangi malapetaka yang dilepas ‘ayahnya’. Namun, mengingat lokasinya di antara dua pulau padat Jawa dan Sumatra, berarti aktivitas ini merupakan ancaman serius.
Changbaishan
Tak banyak yang mengenal gunung ini karena letaknya di bagian terpencil Asia. Letusan terakhirnya terjadi pada 1903, namun sejarahnya menceritakan kisah menakutkan. Pada tahun 969, gunung di Cina ini menghasilkan letusan terbesar dalam 10.000 tahun terakhir. Letusan ini melepaskan tiga kali lebih banyak material daripada yang dilepas Krakatau pada 1886.
Salah satu potensi bahaya utama adalah danau kawah besar pada puncaknya. Danau ini dengan volume sekitar sembilan kilometer kubik. Jika pecah, danau ini bisa menghasilkan lahar yang akan menimbulkan ancaman signifikan bagi 100.000 orang yang tinggal di sekitarnya.
Pada awal 2000-an, para ilmuwan mulai memantau gunung berapi yang belum banyak dipantau ini. Para ilmuwan melihat aktivitasnya meningkat. Dormansi ruang magma tampaknya segera berakhir, dan dapat menimbulkan bahaya pada saat-saat berikutnya. Hal yang membuat lebih rumit adalah Changbaishan berada di perbatasan Cina dan Korea Utara. Dengan lokasi geo-politik yang sensitif, efek dari aktivitas gunung berapi di sini kemungkinan sangat sulit ditangani.
0 komentar:
Posting Komentar